Rumah Panggung,Penuh Dengan Makna Simbolis

Anda yang bosan dengan kepadatan dan keriuhan kota besar, bertamasya ke tempat tamasya keluarga tentu menjadi pilihan yang menyenangkan di akhir pekan. Kepenatan menghadapi rutinitas pekerjaan bisa sedikit dikendurkan dengan menghabiskan waktu bersama orang terdekat sambil merasakan pemandangan alam nan hijau dan asri.

Di tempat-daerah itulah, lazimnya ruang peristirahatan dibangun dengan gaya arsitektur yang unik dan berbeda. Orang menyebutnya bernuansa etnik atau tradisional. Konsep yang ingin dibangun tentu saja lebih dekat terhadap alam, go green or back to nature. Salah satu wujud bangunan yang cukup populer dan menjamur ialah gazebo yang bercorak rumah pentas ala saung (Sunda), jineng (Bali), huma betang (Kalimantan), beruga (Lombok), dan tongkonan (Toraja). Nama atau sebutannya boleh berbeda-beda, melainkan corak utamanya konsisten satu: rumah panggung.

Tidak seluruh gazebo modern menganut pakem rumah panggung. Artinya, tidak berada beberapa meter di atas tanah. Melainkan demikian, inspirasi utamanya konsisten berasal dari rumah pentas yang terbukti sudah lama menjadi warisan seni dan tradisi milik bangsa yang tersebar di Nusantara. Entah siapa yang lebih dulu mengawali? Mungkin saja rumah panggung ialah evolusi dari rumah pohon yang memang menjadi ciri khas masyarakat berburu yang tinggal di hutan-hutan.


Atau mungkin berasal dari masyarakat tepian sungai yang terbiasa digenangi luapan banjir pada musim-musim tertentu. Atau, dapat juga seperti suku Bajo di Sulawesi yang membangun rumah pentasnya di atas air laut. Yang terang, format rumah pentas ini dikenal hampir di sebagian besar masyarakat Nusantara. Mulai dari Aceh, Pelembang, Padang, Sunda, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, hingga Sulawesi.

Keunikan rumah pentas juga menjadi kekayaan seni tersendiri yang tak ternilai harganya. Mulai dari konstruksi bangunan, teknik penyambungan dan perakitan, tinggi rumah dengan tanah, bahan dan wujud atap, hingga asesoris-asesoris interior yang penuh makna simbolis ataupun filosofis. Makna sebuah rumah pentas mungkin saja melebihi fungsi dan kegunaannya.

Karena, makna sesuatu hal sungguh-sungguh ditentukan oleh alam pikir, pengalaman, dan dunia kehidupan nyata pemiliknya. Bila dilihat sekilas, "rumah berkaki'' ini memang memperlihatkan fungsi ketimbang makna. Lihat saja kolong rumah panggung yang bisa dijadikan ruang terbuka maupun ruang penyimpanan yang multifungsi dan efisien. Atau dinding rumah yang tidak seratus persen rapat sungguh menyegarkan sebab udara dengan bebas mengalir, tak perlu pendingin ruangan (AC) yang merusak lingkungan itu.

Rumah pentas di Bali, jineng, dahulu fungsinya yakni untuk menyimpan beras. Semacam pula tongkonan, berguna untuk menaruh hasil-hasil pertanian sebagai persediaan keluarga, dan juga tempat penyimpanan jenazah sebelum dikerjakan upacara kematian (rambu solok). Melainkan lambat laun, contoh bangunan jineng dan tongkonan juga mengispirasi untuk diwujudkan menjadi vila atau penginapan yang eksklusif. Tetapi di Jawa, saat aku kecil, rumah pentas hanya untuk rumah burung dara atau merpati.

Orang jawa menyebutnya pagupon. Kenapa orang Jawa tak semacam itu mengenal rumah panggung. Berdasarkan analisa dari sisi antropologi, pertanian menetap yang tumbuh di kelompok sosial masyarakat Jawa melahirkan alam kehidupan yang lebih mapan. Artinya, ikatan dengan tanah yang ditempati semacam itu kuat sehingga harus "dipegang" dan "dijaga" bagus-bagus. Dapat juga karena obsesi untuk membangun rumah luas, besar dan lega ala keraton sebagai simbol kesuksesan seseorang.

Akan tetapi, diperbandingkan dengan rumah biasa yang "menginjak bumi" dan "kedap udara" sebab diwujudkan dari bata dan semen, tentu saja tidak ada privasi yang benar-benar privat di rumah pentas yang sebetulnya. Pengalaman penulis selama satu bulan di Enrekang, Sulawesi Selatan, keluar masuk rumah panggung dan tinggal bersama masyarakat, mengisyaratkan sebuah pola kehidupan yang penuh keterbukaan. Memang terasa kurang pas untuk orang-orang yang ingin aktivitasnya tidak nampak oleh orang lain.

Tapi bagi mereka yang cinta kebersamaan dan keterbukaan, rumah pentas sepertinya layak dengan spirit tersebut. Di dusun-dusun pegunungan di Enrekang (desa Palakka dan Tanete), pola dalam rumah panggung hampir sama satu dengan yang lain. Biasanya satu rumah pentas diisi oleh lebih dari satu keluarga inti (extended family). Di dalam rumah, diwujudkan sekat-sekat untuk membagi ruangan, seperti ruang tamu, kamar, dan dapur. Tentu saja cukup satu dapur untuk satu rumah. Kamar mandi umumnya diluar atau dibawah rumah.

Ajaibnya, rumah panggung di Palakka ini sebagian besar kaki atau tiangnya tidak disemen atau dipondasi, namun cuma ditaruh di atas batu kali. Padahal demikian, hal itu tidak mengurangi kekokohan rumah tersebut. Bahkan dikala rumah itu di atasnya diisi lima puluh hingga seratus orang, seperti saat pesta atau selamatan, tak jua ambrol atau ambruk. Kecuali praktis, efisien, dapat diungkap pasang, rupanya rumah pentas ini juga kokoh tanpa pondasi.

Fenomena ini tak hanya terjadi di Palakka, Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan saja, namun juga di web sejarah peninggalan Kesultanan Buton, Sulawesi Tenggara yang masih terpelihara semenjak didirikan pada abad ke-16. Tepatnya pada bangunan rumah di dalam Benteng Keraton Wolio. Di dalam benteng yang mempunyai luas 22,4 ha dan panjang keliling 2,740 m tersebut, terdapat 624 rumah yang sebagian besar masih berarsitektur khas Kerajaan Buton, ialah rumah pentas yang dibangun tanpa menggunakan paku besi. Rumah semacam ini jelas mudah sekali untuk diungkap pasang dan sama seperti di Palakka, tiang-tiang kaki rumah panggung itu hanya bertumpu pada sebuah batu yang ukurannya hampir sama dengan ukuran kaki rumah.

Dahulu, rumah pentas di Desa Palakka ataupun di Benteng Wolio 100% terbuat dari kayu dan bahan alam lainnya. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, rumah pentas telah divariasi dengan pelbagai faktor modern seperti batu bata, keramik, dan atap dari seng atau genting. Komponen rumah seperti dinding dan jendela juga mulai mencontoh gaya rumah-rumah di kota atau di televisi yang setiap hari mereka tonton.

Selain karena pengaruh modernisasi, salah satu yang paling signifikan mengubah kebiasaan membangun rumah pentas dengan kayu 100% adalah larangan menebang kayu di hutan secara serampangan. Banyak hutan dibuat hutan wilayah dan dilindungi. Tak tiap penduduk boleh menebang kayu, lebih-lebih kayu-kayu mahal dan berdiameter besar yang mulai langka.

Jumpa ini pula yang menjadi kegelisahan seorang pekerja seni karungut (seni bertutur, semacam pantun atau syair perihal poin, adat, akhlak, dan pengorbanan) yang tersohor di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, yang bernama Syaer Jumpa U Rangka atau biasa dipanggil Syaer Sua. Kecintaannya kepada rumah pentas (huma betang/rumah panjang) khas Dayak yang mulai ditinggalkan, membuatnya membangun dua huma betang yang kecuali untuk ditinggali juga menjadi wahana untuk melestarikan kesibukan kesenian tradisional Dayak lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Cara Terbaik Menata Ruang Makan